TAMANSISWA DAN SEMANGAT KEJUANGANNYA
Abstract
Sejarah Tamansiswa tidak dapat lepas dari Ki Hadjar Dewantara (KHD) yang lahir 2 Mei 1889 putera Pangeran Soerjaningrat trah dari Paku Alaman. Waktu kecil KHD bernama R.M. Soewardi Soerjaning-rat. Ketika belajar di STOVIA Jakarta (1905), beliau bergaul dengan teman-teman yang menjadi tokoh-tokoh pergerakan nasional Indonesia dan memperoleh pengalaman berorganisasi secara modern. KHD turut dalam organisasi Boedi Oetomo (1908) dan diserahi tugas pada bagian propaganda; beliau juga membantu gerakan Sarekat Islam (1911).
Pada tahun 1912 bersama Tjipto Mangoenkoesoema dan Dauwes Dekker,KHD mendirikan Indische Partij (IP). Permohonan IP menjadi badan hukum ditolak pemerintah kolonial Belanda karena dianggap berbahaya. Tokoh IP yang terkenal dengan sebutan "Tiga Serangkai" (Soewardi-Tjipto- Dekker) akhirnya berjuang melalui pers.
Tahun 1913 pemerintah kolonial Belanda akan mengadakan pera-yaan 100 tahun kemerdekaannya di Indonesia dengan memungut biaya dari rakyat. KHD dan kawan-kawan tak setuju, dan untuk memprotes dibentuklah Komite Bumi Poetera. Selanjutnya KHD menulis protes tajam namun secara halus melalui tulisan "Als ik eens Nederlander was" (Andaikan Aku Seorang Belanda) dan "Een voor Allen, maar Ook Allen voor Een" (Satu untuk Semua, tetapi Juga Semua untuk Satu). Akibat tulisannya ini dan juga tulisan senada yang dibuat oleh Tjipto dan Dekker maka ketiganya dibuang ke Belanda.
Setelah enam tahun bermukim di tanah buangan akhirnya KHD pulang ke Indonesia (1919), dan memimpin Nationaal Indische Partij (NIP) sebagai sekretaris jenderalnya. Di samping berjuang di jalur politik maka perjuangannya di jalur pers pun diteruskan yang akhirnya menghantar KHD ke penjara karena terkena delik pers (1920).
Pada tahun 1912 bersama Tjipto Mangoenkoesoema dan Dauwes Dekker,KHD mendirikan Indische Partij (IP). Permohonan IP menjadi badan hukum ditolak pemerintah kolonial Belanda karena dianggap berbahaya. Tokoh IP yang terkenal dengan sebutan "Tiga Serangkai" (Soewardi-Tjipto- Dekker) akhirnya berjuang melalui pers.
Tahun 1913 pemerintah kolonial Belanda akan mengadakan pera-yaan 100 tahun kemerdekaannya di Indonesia dengan memungut biaya dari rakyat. KHD dan kawan-kawan tak setuju, dan untuk memprotes dibentuklah Komite Bumi Poetera. Selanjutnya KHD menulis protes tajam namun secara halus melalui tulisan "Als ik eens Nederlander was" (Andaikan Aku Seorang Belanda) dan "Een voor Allen, maar Ook Allen voor Een" (Satu untuk Semua, tetapi Juga Semua untuk Satu). Akibat tulisannya ini dan juga tulisan senada yang dibuat oleh Tjipto dan Dekker maka ketiganya dibuang ke Belanda.
Setelah enam tahun bermukim di tanah buangan akhirnya KHD pulang ke Indonesia (1919), dan memimpin Nationaal Indische Partij (NIP) sebagai sekretaris jenderalnya. Di samping berjuang di jalur politik maka perjuangannya di jalur pers pun diteruskan yang akhirnya menghantar KHD ke penjara karena terkena delik pers (1920).