MENCARI MODEL PENDIDIKAN MENGEMBANGKAN POTENSI ANAK GENIUS

Ki Supriyoko

Abstract


Sungguh saya beruntung memperoleh kritik yang konstruktif dari Bapak Wardiman Djojonegoro, menteri pendidikan kita.  Kritik beliau berkaitan dengan penyelenggaraan sekolah di  Perguruan Tamansiswa LNG Arun, Aceh.  Dalam kritiknya beliau mengatakan kenapa tidak ada perlakuan yang berbeda antara siswa pandai dan kurang pandai,  kan hal ini dapat merugikan siswa yang kurang pandai. Dari kritik tersebut akhirnya beliau menyarankan sebaiknya diadakan perlakuan yang berbeda antara siswa yang pandai dan kurang pandai agar kedua kelompok siswa ini dapat dikembangkan secara lebih proporsional.

       Atas kerja sama di antara  Majelis Luhur Tamansiswa dengan PT Arun, Aceh maka didirikanlah beberapa sekolah dari TK s/d SMA. Barangkali karena sekolah-sekolah ini termasuk terbaik di Indonesia maka Pak Menteri berkenan mengunjunginya. Kekhasan dari sekolah-sekolah ini adalah kandidat siswa yang masuk TK, SD, SMP, dan SMA tidak dikenakan tes;  siapa saja (yang bodoh, yang sedang, dan yang pandai) wajib diterima.

       Sebagaimana dengan sekolah-sekolah lain pada umumnya mereka semua diajar secara klasikal tanpa ada perbedaan perlakuan di antara yang pandai, sedang dan kurang pandai.  Di sinilah letak kejelian Pak Wardiman; meskipun dengan cara klasikal-konvensional seperti ini pencapaian prestasi akademik siswa sudah relatif tinggi akan tetapi hal itu akan dapat lebih tinggi lagi kalau ada perlakuan berbeda di antara siswa berdasarkan peringkat "dasar"nya.  Dan yang penting, menurut beliau, siswa yang pandai tidak dirugikan dan yang kurang pandai pun merasa lebih diperhatikan.

       Meskipun kritik tersebut diberikan kepada saya (maksudnya pada Tamansiswa)  tetapi kiranya berlaku pula bagi para penyelenggara dan pelaksana sekolah di Indonesia pada umumnya.

Full Text:

PDF
Amikom Web Archives