MEREFORMASI BP3 DI SEKOLAH
Abstract
Pada momentum seperti sekarang ini ketika orang tua disibukkan dengan urusan mencari sekolah lanjutan bagi anaknya, khususnya di SLTP dan SMU/SMK, banyak di antara mereka yang menjadi "grogi" karena harus berhadapan dengan suatu organisasi yang paling populer di sekolah, yaitu Badan Pembantu Penyelenggara Pendidikan atau yang lebih dikenal dengan BP3.
Organisasi atau badan yang dalam banyak kasus sering memungut iuran pendidikan secara berlebihan untuk ukuran kemampuan ekonomi para orangtua siswa di sekolah-sekolah yang bersangkutan itulah yang membuat BP3 menjadi populer; sudah barang tentu di dalam konotasi yang tidak (sepenuhnya) konstruktif. Secara empirik memang banyak orang tua siswa yang mengeluh disebabkan tingginya iuran pendidikan yang ditetapkan oleh pengurus BP3. Akibatnya banyak orang tua yang harus menghadapi dilema; membayar iuran berarti menambah beban, sedangkan tidak membayar khawatir kalau anaknya mendapat dampak akademik atas ketidakmembayarannya itu.
Pada banyak kasus BP3 sering dianggap sebagai badan legitimasi sekolah untuk menarik uang dari para orang tua siswa. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bila kemudian muncul anggapan di sementara orang tua sbb: kalau dirinya berhubungan langsung dengan (pengurus) BP3 artinya dirinya sedang berhubungan dengan soal iuran pendidikan di sekolah. Itulah sebabnya di kalangan orang tua yang tidak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup maka BP3 sering dianggap sebagai hantu yang menakutkan.
Sekarang ini ketika pemerintah membebaskan siswa SMU negeri dari kewajiban membayar Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) maka banyak orang tua yang tidak hilang kekhawatirannya. Me-reka khawatir, hilangnya SPP justru akan dikompensasi dengan iuran BP3 yang lebih melangit.
Organisasi atau badan yang dalam banyak kasus sering memungut iuran pendidikan secara berlebihan untuk ukuran kemampuan ekonomi para orangtua siswa di sekolah-sekolah yang bersangkutan itulah yang membuat BP3 menjadi populer; sudah barang tentu di dalam konotasi yang tidak (sepenuhnya) konstruktif. Secara empirik memang banyak orang tua siswa yang mengeluh disebabkan tingginya iuran pendidikan yang ditetapkan oleh pengurus BP3. Akibatnya banyak orang tua yang harus menghadapi dilema; membayar iuran berarti menambah beban, sedangkan tidak membayar khawatir kalau anaknya mendapat dampak akademik atas ketidakmembayarannya itu.
Pada banyak kasus BP3 sering dianggap sebagai badan legitimasi sekolah untuk menarik uang dari para orang tua siswa. Oleh sebab itu tidaklah mengherankan bila kemudian muncul anggapan di sementara orang tua sbb: kalau dirinya berhubungan langsung dengan (pengurus) BP3 artinya dirinya sedang berhubungan dengan soal iuran pendidikan di sekolah. Itulah sebabnya di kalangan orang tua yang tidak memiliki kemampuan ekonomi yang cukup maka BP3 sering dianggap sebagai hantu yang menakutkan.
Sekarang ini ketika pemerintah membebaskan siswa SMU negeri dari kewajiban membayar Sumbangan Penyelenggaraan Pendidikan (SPP) maka banyak orang tua yang tidak hilang kekhawatirannya. Me-reka khawatir, hilangnya SPP justru akan dikompensasi dengan iuran BP3 yang lebih melangit.