KEBIJAKAN BUKU PELAJARAN LIMA TAHUNAN

Ki Supriyoko

Abstract


 

       “Tidak ilmu suluh padam”, demikianlah bunyi pepatah lama bangsa Indonesia yang kira-kira artinya ialah, orang yang tidak memiliki ilmu atau kepandaian yang cukup maka kehormatannya di mata masyarakat akan sirna. Dengan kalimat pendek: tidak berilmu, kehormatan diabaikan orang.

 

       Pepatah serupa ternyata juga kita dapati di negara-negara manca. Di Malaysia dan Brunei Darussalam tetangga kita ada pepatah, “Hitam-hitam bendi, putih-putih sadah”, yang artinya kurang lebih sbb: orang yang berilmu akan dihormati sekalipun berwajah buruk, sedangkan orang yang tidak berilmu akan ditindas sekalipun berwajah elok. Sementara bangsa Arab pun mempunyai pepatah kuno, “al ngilmu shoidun, walkitaabahu khoiduh(u)”, yang artinya ilmu itu seperti binatang buruan atau liar dan buku itu sebagai tali pengikatnya.

 

       Dari ”serangkaian” pepatah kuno tersebut di atas kiranya dapat kita tarik benang merah antara buku, ilmu dan kehormatan. Ketersediaan buku yang cukup, memungkinkan seseorang atau sebuah bangsa menjadi berilmu alias pandai; selanjutnya keberilmuan atau kepandaian inilah yang dapat mengangkat kehormatan orang atau bangsa yang bersangkutan.

 

       Apakah buku merupakan satu-satunya media yang menyebabkan orang atau bangsa menjadi berilmu? Tentu saja tidak! Kalau ada dua orang atau lebih yang saling berdialog maka masing-masing dapat meningkat ilmunya. Kalau ada orang yang duduk sendirian sambil mengamati kejadian alam di sekitarnya pun juga dapat meningkat ilmunya. Bahkan di jaman yang serba elektronik sekarang ini, orang dapat membaca kejadian dunia tanpa harus beranjak dari kamar karena keberilmuannya.


Full Text:

PDF
Amikom Web Archives