RIBA DALAM BERBAGAI AGAMA (4)

Mohammad Suyanto

Abstract


 Tiga kualifikasi ini ternyata membantu penghapusan larangan riba. Bahkan pada waktu itu, ‘standar ganda Ulangan’, demikian Nelson (1949) menyebutnya, sulit dihilangkan dengan alasan apapun oleh kaum Kristen, karena Yesus telah menyatakan kesatuan dan kesamaan kawan dan lawan. Selain itu, pemikiran bahwa riba bagi sesuatu kelompok bisa dianggap benar secara agamis, dikontradiksikan dengan pasal dari kitab Mazmur tersebut di atas. Satu cara yang mungkin di sekitar teka-teki ucapan ini adalah mengikuti arahan para pemimpin Gereja Yahudi yang mempertahankan praktik saudara mereka yang memberi pinjaman berbunga kepada kaum non-Yahudi dengan alasan bahwa ayat dari kitab Mazmur dapat dinisbatkan kepada Daud yang merupakan murid Musa dan, karena itu, tidak bisa memosisikan dirinya secara bertentangan dengan gurunya dengan cara mengubah hukum Musa  (Cohn, 1971).

Proses evolusi yang sama terjadi pada Gereja Kristen awal, dan undang-undang gereja dibuat oleh dewan gereja, para Paus dan Uskup. Gereja awal pertama-tama mengutuk riba dengan Peraturan Apostolik ke-44 pada Dewan Arles, 314, disusul oleh Nicea pada 325, dan Laodicia pada 371. undang-undang Gereja pertama yang menentang riba adalah Ensiklik Kepausan Nec hoc quoque Santo Leo yang Agung, Paus dari 440-61 dan seorang Doktor Gereja. Ensiklik Kepausan terakhir yang menentang riba Vix pervenit dikeluarkan pada 1745 oleh Paus Benedict XIV (meskipun itu bukanlah sebuah dekrit yang mutlak). Di antaranya, gereja Katolik mempertahankan penentangannya terhadap praktik riba, meskipun penekanannya benar-benar berubah sepanjang waktu.

Pertama-tama, pelarangan gereja atas riba tidak menyalahi kependetaan, meskipun ketidaksepakatan yang lebih umum diungkapkan kepada kaum awan oleh Dewan Carthage pertama (345). Roll (1953) menyatakan bahwa tidak perlu diadakan pelarangan yang lebih luas. Tiadanya sebuah perekonomian uang dan pasar modal yang sudah berkembang, dan diberikannya hak-hak paling feodal yang sepadan, posisi gereja tidak hanya sebagai unit produksi paling besar, tetapi juga sebenarnya merupakan satu-satunya penerima uang paling banyak. Terlepas dari apa kata Injil, bagi gereja membebankan bunga atas pinjaman konsumtif kepada orang miskin pasti akan dianggap sebagai eksploitasi. Glaeser dan Scheinkman (1998) mengemukakan alasan lain. Pinjaman tanpa bunga adalah ‘bisnis yang baik’ karena menghasilkan antusiasme di tengah masyarakat terhadap agama. Juga, penghalalan riba bisa mendorong pengambilan keuntungan pribadi yang berlebih-lebihan oleh para pendeta dan barangkali membuka pintu untuk simony (jual beli surat pengampunan gereja untuk kepentingan duniawi).

Karena perdagangan dan perniagaan meluas pada Abad Pertengahan terakhir, dan permintaan akan pinjaman bertambah, untuk memerangi ‘nafsu merampok dari retenir yang tidak puas-puasnya’ maka larangan Gereja atas riba pun diperluas kepada orang-orang awam dengan nada yang sangat keras (Divine, 1967). Kutukan terhadap riba dilontarkan oleh Dewan Lateran Agung. Lyon II, dan Vienne. Dewan Lateran Kedua (1139) mengutuk riba sebagai hal yang ‘tercela’. Lateran III (1179) mengajukan excommunication (pengusiran dari komunitas Kristen) untuk para rentenir yang terang-terangan memungut riba. Terakhir, Dewan Vienne (1311) membolehkan  excommunication terhadap para pangeran, legislative, dan pejabat publik yang menggunakan atau melindungi rentenir, atau yang berusaha membedakan antara bunga (interest) yang dibolehkan dan riba (usury). Praktek ini sering dirasionalisasikan sebagai instrumen kesejahteraan. Paus Alexander III pada 1159 menyatakan bahwa kaum Saracens dan ahli bidah yang tidak mungkin ditaklukkan dengan kekuatan senjata akan dipaksa di bawah beban riba untuk menyerah kepada Gereja (Nelson, 1949:15).


Full Text:

PDF
Amikom Web Archives