NILAI GUNA DALAM ISLAM

Mohammad Suyanto

Abstract


<!-- /* Font Definitions */ @font-face {font-family:"MS Mincho"; mso-font-alt:"MS 明朝"; mso-font-charset:128; mso-generic-font-family:modern; mso-font-pitch:fixed; mso-font-signature:-536870145 1791491579 18 0 131231 0;} /* Style Definitions */ p.MsoNormal, li.MsoNormal, div.MsoNormal {mso-style-parent:""; margin:0cm; margin-bottom:.0001pt; mso-pagination:widow-orphan; font-size:12.0pt; font-family:"Times New Roman"; mso-fareast-font-family:"MS Mincho"; mso-bidi-font-family:"Times New Roman"; mso-ansi-language:EN-GB; mso-fareast-language:JA;} @page Section1 {size:612.1pt 842.0pt; margin:113.7pt 3.0cm 3.0cm 2.3pt; mso-header-margin:35.45pt; mso-footer-margin:35.45pt; mso-gutter-margin:89.85pt; mso-paper-source:0;} div.Section1 {page:Section1;} -->

Prinsip syariah akan menyediakan dasar untuk membuat alokasi, produksi dan distribusi secara adil dan sah. Oleh karena itu, prinsip syariah merupakan penting sekali untuk mengelompokkan kriteria umum yang akan membantu untuk membangun peringkat nilai guna (utility) dari kombinasi yang berbeda dari barang yang dikonsumsi oleh anggota masyarakat Islam. Peta indeference pada keputusan individu didasarkan barangkali dianggap sebagai fungsi kesejahteraan sosial dan moral Islam (Mannan, 1984).

Konsep nilai guna dalam Islam merupakan sebuah konsep yang lebih luas daripada konsep nilai guna dalam ekonomi kesejahteraan konvensional. Nilai guna konvensional, hanya mempertimbangkan material semata. Nilai guna dalam Islam dikenal dengan sebutan maslahah, yang dikemukakan oleh Malik bin Anas. Subyek ini diperjelas oleh Ghazali, Ibnu Qayyim, Shatibi, Tufi, Izzudin ibn Abdussalam dan Quraf. Ternyata konsep Maliki ini serupa dengan analisis nilai guna (utility) dari filosof barat seperti Jeremy Bentham dan J.S.Mill (Shiddiq, 1982). Bisa jadi Jeremy Bentham dan J.S.Mill terinspirasi dari Malik bin Anas.  Bentuk maslahah merujuk pada kesejahteraan yang luas dari manusia. Menurut Al-Shatibi, maslahah merupakan kepenilikan atau kekuatan barang atau jasa yang menguasai elemen dasar dan sasaran kehidupan manusia di dunia. Ada lima elemen dasar kehidupan di dunia, yaitu kehidupan (al-nafs), kepemilikan (al-mal), kebenaran (ad-din), kecerdasan (al-aql) dan keturunan (al-nasl). Semua barang dan jasa yang mempunyai kekuatan untuk menaikkan lima elemen dasar ini yang dikatakan mempunyai maslahah dan barang dan jasa yang mempunyai maslahah akan dinyatakan sebagai kebutuhan. Keinginan dalam ekonomi konvensional ditentukan oleh konsep nilai guna sementara kebutuhan dalam Islam ditentukan oleh konsep maslahah (Khan, 1989).

Konsep barang juga berbeda dalam Islam. Dalam Islam barang merupakan karunia yang terbaik dari Tuhan pada manusia. Menurut Al-Qur’an barang konsumsi adalah barang yang melambangkan nilai moral dan ideologi mereka (manusia). Dalam Al-Qur’an, barang dinyatakan dalam dua istilah, yaitu al-tayyibat dan al-rizq.  Kata al-tayyibat digunakan 18 kali, sedangkan kata al-rizq digunakan 120 kali dalan Al-Qur’an. Al-tayyibat merujuk pada suatu yang bail, suatu yang murni dan baik, sesuatu yang bersih dan murni, sesuatu yang baik dan menyeluruh serta makanan yang terbaik. Al-rizq   merujuk pada makanan yang diberkahi Tuhan, pemberian yang menyenangkan dan ketetapan Tuhan (Ali, 1975).  Menurut Islam, barang konsumen adalah berdaya guna, materi yang dapat dikonsumsi yang bermanfaat yang bernilai guna yang menghasilkan perbaikan material, moral, spiritual bagi konsumen. Sesuatu yang tidak berdaya guna dan dilarang dalam Islam bukan merupakan barang dalam pengertian Islam. Dalam barang ekonomi konvensional adalah barang yang dapat dipertukarkan. Tetapi barang dalam Islam adalah barang yang dapat dipertukarkan dan berdaya guna secara moral. Kriteria kesejahteraan akan bekerja dalam kondisi untuk memilih di antara proyek-proyek investasi yang berbeda untuk mengalokasikan sumberdaya dengan dasar Syariah secara Islam. Memanglah, sebagian besar kriteria ini tumpang tindih satu dengan yang lainnya.   Meskipun, kriteria yang disebutkan tersebut merupakan kriteria yang hanya indikatif, tetapi tidak yang mendalam. Kriteria kesejahteraan tersebut, antara lain peningkatan ideologi, efisien penggunaan sumberdaya, keadilan dalam distribusi pendapatan, baik secara kolektif, prioritas terhadap kebutuhan yang mendesak, stabilitas, kepastian, keberlangsungan, produktivitas, pertimbangan manusia, universal, etika dan moral (Choudhury, 1991).

 


Amikom Web Archives