BOY, RANDY, DAN FENOMENA SOSIAL KITA
Abstract
Si Boy itu sosok yang aneh dan penuh kontroversi, demikian setidak-tidaknya komentar awam dari masyarakat pada umumnya yang pernah menyaksikan perjalanan hidupnya di layar perak. Belajar sih belajar, tetapi nakalnya itu koq tidak ketulungan! Sembahyang sih sembahyang, tetapi "gila"nya itu lho!
Jangan terlalu heran kalau tokoh Si Boy yang oleh sementara kawula muda dianggap biasa-biasa saja, karena mencerminkan perilaku dirinya, namun oleh kalangan orang tua sering dianggap sebagai tokoh yang penuh kontraversi. Pada orang tua yang tidak mengikuti "perkembangan", atau katakanlah yang tidak dapat membaca fenomena sosial masyarakat kita, maka tingkat kekontraversiannya terhadap tokoh Boy tentu menjadi lebih besar lagi.
Mencermati karakter dari tokoh Si Boy memang sama dengan kita mencermati fenomena sosial di sekitar kita, yang seringkali juga penuh dengan "misteri" dan kontraversi.
Mungkin secara tidak sadar kita mempunyai teman, kenalan, tetangga, atau pemimpin yang selama ini di mata kita terlihat baik. Mereka mempunyai tingkat solidaritas dan sosiabilitas yang cukup tinggi; mau berkorban, mau bergotong royong, memimpin organisasi ini itu, dsb, akan tetapi ternyata semua itu hanya sekedar "kamulflase sosial" untuk menutupi boroknya. Sembahyang sih sembahyang tetapi "gila"nya itu lho. Tentu ini hanya sekedar contoh kasus saja.
Jangan terlalu heran kalau tokoh Si Boy yang oleh sementara kawula muda dianggap biasa-biasa saja, karena mencerminkan perilaku dirinya, namun oleh kalangan orang tua sering dianggap sebagai tokoh yang penuh kontraversi. Pada orang tua yang tidak mengikuti "perkembangan", atau katakanlah yang tidak dapat membaca fenomena sosial masyarakat kita, maka tingkat kekontraversiannya terhadap tokoh Boy tentu menjadi lebih besar lagi.
Mencermati karakter dari tokoh Si Boy memang sama dengan kita mencermati fenomena sosial di sekitar kita, yang seringkali juga penuh dengan "misteri" dan kontraversi.
Mungkin secara tidak sadar kita mempunyai teman, kenalan, tetangga, atau pemimpin yang selama ini di mata kita terlihat baik. Mereka mempunyai tingkat solidaritas dan sosiabilitas yang cukup tinggi; mau berkorban, mau bergotong royong, memimpin organisasi ini itu, dsb, akan tetapi ternyata semua itu hanya sekedar "kamulflase sosial" untuk menutupi boroknya. Sembahyang sih sembahyang tetapi "gila"nya itu lho. Tentu ini hanya sekedar contoh kasus saja.