KENDALA PENINGKATAN MUTU PTS
Abstract
Berbeda dengan kondisi di negara-negara maju, seperti di Jepang dan Amerika Serikat (AS) misalnya, secara umum sampai sekarang ini mutu Perguruan Tinggi Swasta (PTS) di Indonesia masih berada di bawah mutu Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Bahwa secara khusus ada PTS yang mutunya jauh di atas mutu PTN pada umumnya hal itu memang benar adanya; namun demikian hal itu lebih bersifat kasus.
Keadaan yang demikian itu menciptakan tradisi akademik yang acapkali kurang proporsional;misalnya kebanyakan lulusan SMU (dan SMK) baru mau mendaftarkan diri pada PTS setelah yakin bahwa di-rinya tidak kebagian kursi kuliah pada PTN. Lihatlah sebentar lagi, ketika hasil UMPTN nanti diumumkan (rencana 27 Juli 1996) maka kandidat mahasiswa baru PTN yang gagal tentu akan segera ramai-ramai "menyerbu" PTS. Tradisi akademik semacam ini memang tidak proporsional karena sebenarnya pendaftaran pada PTS bisa dilakukan bersamaan dengan pendaftaran pada PTN. Dengan demikian kegiatan akademik pada PTS dapat dilakukan bersama-sama dengan PTN; tidak selalu PTS tertinggal "start".
Hal tersebut di atas bisa terjadi karena mutu PTS pada umumnya memang belum dapat dibanggakan, bahkan ada sebagian yang masih sangat memprihatinkan. Menghadapi kenyataan ini kiranya tidak salah kalau Presiden Soeharto segera menganjurkan dilakukan pembatasan terhadap munculnya PTS baru.
Seperti kita ketahui ketika Pak Harto menerima audiensi pengurus Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (BMPTSI) beberapa waktu yang lalu maka beliau menganjurkan perlunya diadakan pembatasan jumlah PTS sembari meningkatkan mutu PTS yang sudah ada. Pembatasan jumlah dilakukan dengan mengetatkan sistem seleksi berdirinya PTS baru, sementara itu peningkatan kualitas dapat dilakukan antara lain dengan membenahi sistem dan proses akreditasi.
Keadaan yang demikian itu menciptakan tradisi akademik yang acapkali kurang proporsional;misalnya kebanyakan lulusan SMU (dan SMK) baru mau mendaftarkan diri pada PTS setelah yakin bahwa di-rinya tidak kebagian kursi kuliah pada PTN. Lihatlah sebentar lagi, ketika hasil UMPTN nanti diumumkan (rencana 27 Juli 1996) maka kandidat mahasiswa baru PTN yang gagal tentu akan segera ramai-ramai "menyerbu" PTS. Tradisi akademik semacam ini memang tidak proporsional karena sebenarnya pendaftaran pada PTS bisa dilakukan bersamaan dengan pendaftaran pada PTN. Dengan demikian kegiatan akademik pada PTS dapat dilakukan bersama-sama dengan PTN; tidak selalu PTS tertinggal "start".
Hal tersebut di atas bisa terjadi karena mutu PTS pada umumnya memang belum dapat dibanggakan, bahkan ada sebagian yang masih sangat memprihatinkan. Menghadapi kenyataan ini kiranya tidak salah kalau Presiden Soeharto segera menganjurkan dilakukan pembatasan terhadap munculnya PTS baru.
Seperti kita ketahui ketika Pak Harto menerima audiensi pengurus Badan Musyawarah Perguruan Tinggi Swasta Indonesia (BMPTSI) beberapa waktu yang lalu maka beliau menganjurkan perlunya diadakan pembatasan jumlah PTS sembari meningkatkan mutu PTS yang sudah ada. Pembatasan jumlah dilakukan dengan mengetatkan sistem seleksi berdirinya PTS baru, sementara itu peningkatan kualitas dapat dilakukan antara lain dengan membenahi sistem dan proses akreditasi.