INDUSTRI DAN PENDIDIKAN TEKSTIL INDONESIA

Ki Supriyoko

Abstract



       Pada tahun 1979  saya meluangkan waktu  untuk berjalan-jalan di Pantai Scheveningen, Belanda,  suatu pantai yang sangat populer bagi masyarakat Eropa.  Ketika musim "panas" tiba maka pantai ini penuh dikunjungi oleh turis domestik maupun turis asing yang senang mandi dipantai dan berjemur diri. Di pinggir pantai ini ada toko-toko pakaian kelas menengah yang banyak pula pengunjungnya.

       Salah satu hal yang menarik saya ketika berkunjung ke toko-toko tersebut adalah banyaknya pakaian batik yang dipamerkan;  dan yang lebih menarik lagi ialah pakaian-pakaian batik yang saya yakini buatan Pekalongan dan Yogyakarta (Indonesia)  ternyata diberi label 'Made in Thailand' atau 'Made in Taiwan'.  Bahwa industri pakaian Thailand dan Taiwan waktu itu sedang jaya-jayanya memang demikianlah adanya;  akan tetapi saya dan teman-teman dari Indonesia begitu yakin bahwa batik-batik yang "bertebaran" pada toko-toko di Belanda tersebut adalah bikinan bangsa kita.

       Pengalaman serupa terjadi di Singapura. Ketika kami berjalan-ja-lan pada pusat pertokoan di Orchad Road, Singapura, ternyata banyak kami dapatkan pakaian "jean" yang kami yakini bikinan Cihampelas,  Bandung, Indonesia yang dijual di sana.  Hal seperti ini juga banyak didapati pada toko-toko di daerah Little India,  suatu tempat perbelanjaan yang amat populer di Singapura.  Sudah barang tentu hal itu tidak terlalu menarik kalau pakaian, khususnya celana, tersebut diberi label 'Made in Cihampelas Indonesia'; yang menarik perhatian saya ialah bahwa pakaian tersebut diberi label 'Made in USA'.

       Dalam beberapa tahun terakhir ini  saya sering datang  di Tokyo, Jepang untuk beberapa kepentingan.  Ketika saya menyempatkan diri untuk mencuci mata di pusat-pusat perbelanjaan,  antara lain di Ginza, saya begitu tertarik ketika mendapatkan baju-baju yang saya yakini buatan Solo, Indonesia dijual dengan label 'Made in Singapura'.

Full Text:

PDF
Amikom Web Archives