BUKAN ARCHAISME, BUKAN PULA FUTURISME
Abstract
Sebagai lembaga kebudayaan yang mempergunakan pendidikan dalam arti luas sebagai medan kiprahnya wajarlah kalau Tamansiswa menyelenggarakan sarasehan secara nasional secara rutin. Sarasehan yang menghadirkan tokoh-tokoh nasional, dari para menteri, pejabat, pimpinan partai politik, dosen, guru, mahasiswa, pakar, "pedagang" sampai dengan para praktisi budaya itu sendiri membahas berbagai hal yang berkait dengan perkembangan kebudayaan nasional kita. Sudah barang tenu dalam kebudayaan itu sendiri terkandung banyak elemen; antara lain politik, teknologi, pendidikan, hukum, sosial, kesenian dan sebagainya.
Sekarang ini rutinitas tersebut sudah memasuki tahun yang kese-puluh; itulah sebabnya sarasehan yang dilaksanakan tanggal 19 dan 20 September 1997 merupakan sarasehan kebudayaan yang kesepuluh.
Menghubungkan konsepsi kebudayaan nasional dengan nama Ki Hadjar Dewantara kiranya memang tidak mengada-ada. Hal ini bukan semata-mata disebabkan oleh karena Ki Hadjar pernah mendapatkan gelar doktor honoris causa (Dr. Hc.) dari Universitas Gadjah Mada (UGM) Yogyakarta pada tanggal 19 Desember 1956 karena jasanya yang besar di bidang kebudayaan dan konsepsi kebudayaannya yang "mengindonesia"; akan tetapi sosok Ki Hadjar memang benar-benar menggambarkan sosok manusia Indonesia yang gigih dan mempunyai komitmen yang tinggi terhadap kebudayaan nasional kita.
Sejak mudanya Ki Hadjar telah banyak mengekspresi pemikiran-pemikiran atau konsep-konsep kebudayaannya melalui berbagai media massa kala itu; katakanlah misalnya melalui media Wasita, Keloearga Poetera, Hindia Poetera, Poesara, dan sebagainya. Dari tulisan-tulisan Ki Hadjar memang nampak betapa tingginya komitmen tersebut.