DESENTRALISASI PENDIDIKAN JANGAN "KEBABLASAN"

Ki Supriyoko

Abstract


       Salah satu tema yang dibahas secara detail oleh para peserta Rakernas Persatuan Tamansiswa Tahun 1999  baru-baru ini adalah tentang desentralisasi pendidikan.  Memang, dengan dikeluarkannya Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999  tentang Pemerintahan Daerah maka gagasan tentang dikembangkannya model desentralisasi pendidikan dalam sistem pendidikan nasional menjadi semakin nyata dan mendekati pelaksanaan.

       Terminologi desentralisasi pendidikan itu sendiri sebenarnya tidak pernah ada di dalam dokumen UU; meskipun demikian dengan memahami semangat dan jiwa UU itu sendiri maka "penurunan" we-wenang dari pemerintah pusat kepada pemerintah daerah di dalam banyak bidang telah memungkinkan, bahkan mewajibkan, dilaksana-kannya desentralisasi pendidikan.

       Secara jelas Pasal 11 menyatakan bahwa bidang pemerintahan yang wajib dilaksanakan oleh Daerah Kabupaten dan Daerah Kota meliputi pekerjaan umum, kesehatan,  pendidikan dan kebudayaan, pertanian, perhubungan,  industri dan perdagangan, penanaman modal,  lingkungan hidup, pertanahan,  koperasi dan tenaga kerja. Mengacu pada kalimat ini maka nantinya pelaksanaan pendidikan nasional kita tidak lagi berpusat "di atas" akan tetapi tersebar di berbagai daerah.

       Artinya,  kalau kita sekarang memiliki lebih dari 300 daerah tingkat dua maka nantinya kita akan memiliki lebih dari 300 pusat-pusat pendidikan nasional  karena setiap daerah mempunyai otoritas dan kewajiban untuk menyelenggarakan pendidikan dan kebudayaan menurut kebijakannya masing-masing. Apakah hal seperti ini cukup rasional untuk kondisi objektif pendidikan nasional di Indonesia dewasa ini?  Masalah rasionalitas inilah yang akhir-akhir ini banyak didiskusikan oleh banyak kalangan, termasuk kalangan pendidikan.

Full Text:

PDF
Amikom Web Archives