TEORI "THREE IN ONE" DALAM KURIKULUM 1999

Ki Supriyoko

Abstract


Kalau ada yang menyatakan  bangsa Indonesia adalah bangsa yang kerdil dan tidak mau melihat kesalahan masa lalu untuk dapat menapaki masa depan dengan sukses barangkali tidak sepenuhnya salah. Setidak-tidaknya hal ini berlaku dalam menjalankan sistem pendidikan nasional dalam kaitannya dengan penggantian kurikulum sekolah, pembaruan, penyempurnaan, atau apa pun namanya.

       Sejak tahun 1975 sampai tahun 1994 kita memiliki pengalaman "menambal sulam" kurikulum,  dan hasilnya selalu saja tidak mampu menghantarkan bangsa ini kepada kinerja pendidikan yang kompetitif dan produktif.  Banyak indikator yang dapat dipakai; misalnya seperti dilaporkan oleh Bank Dunia kemampuan membaca siswa kita lebih rendah dibanding siswa di negara-negara tetangga; prestasi pelajar kita di dalam International Mathematic Olympic (IMO) selalu saja "jeblok",  kecakapan berbahasa (Inggris) siswa dan guru kita begitu rendah dibanding negara-negara lain, dan sebagainya.

       Meskipun demikian, pengalaman buruk tersebut diulang kem-bali dengan "menambal sulam"  Kurikulum 1994  menjadi Kurikulum 1999,  atau apapun namanya.  Durasi waktu yang digunakan untuk menggarap kurikulum baru pun nampak sempit sehingga, meminjam terminologi Bahasa Jawa,  prosesinya kelihatan sekali grusa-grusu; yaitu tergesa-gesa dan kurang hati-hati.  Pendekatannya jauh dari profesional, sehingga hasilnya pun tentu kurang optimal. Memang ada kesan yang tidak dapat ditutup-tutupi bahwa ada sesuatu yang dipaksakan dalam prosesi pembaruan kurikulum kita kali ini.

       Sebagian masyarakat  bahkan ada  yang menganggap  bahwa penerapan Kurikulum 1999 kali ini merupakan upaya pemerintah un-tuk mengalihkan perhatian supaya masyarakat tidak complain atas terjadinya berbagai kegagalan dalam pelaksanaan pendidikan nasional. Anggapan yang berbau pilitis ini semoga tidak benar.

Full Text:

PDF
Amikom Web Archives