ANAK INDUSTRI VERSUS ANAK AGRARIS

Ki Supriyoko

Abstract


       Apakah ada bahayanya jika anak-anak kita sekarang banyak yang tergila-gila dengan permainan anak modern seperti ding dong, nitendo, sega, bom bom car,  games watch, packman, video games, CD man, bumpy, computer games, dan sejenisnya itu?  Apakah kita harus memaksa anak kembali  ke jaman kuno untuk bermain dengan alat-alat permainan tradisional?

       Itulah bagian dari pertanyaan yang berkembang dari ibu-ibu dan orang tua anak ketika berlangsung Sarasehan Nasional tentang Dolanan Anak  dalam rangka menyambut  Hari Anak Nasional (HAN) di Yogyakarta baru-baru ini.  Ada beberapa hal yang tersembunyi di dalam pertanyaan tersebut; antara lain para orang tua mengakui betapa sulitnya mengajak anak untuk bermain dengan alat-alat per-mainan tradisional di satu pihak,  ketergilaan anak akan permainan modern di lain pihak, serta kurang disadarinya "bahaya" yang ter-kandung di dalam alat permainan modern di pihak yang lain lagi.

       Apabila kita perhatikan perkembangan  "anak-anak industri" yang bermukim di kota-kota metropolis dan semimetropolis seperti Jakarta, Medan, Surabaya, Ujung Pandang, Bandung, Yogyakarta, dan sebagainya akan terkesan pada kita terjadinya perubahan peri-laku di dalam bermain.  Dengan penuh antusias anak-anak tersebut ke luar masuk toko atau tempat-tempat bermain sendirian atau ter-kadang berkelompok dua atau tiga orang sekaligus.

       Perubahan perilaku tersebut akan nampak semakin valid dan signifikan kalau kita bandingkan dengan "anak-anak agraris" yang tinggal di pedesaan. Meski sama-sama percaya diri, anak-anak yang bermukim di daerah pedesaan umumnya lebih tenang, santun, sopan dan toleran.

Full Text:

PDF
Amikom Web Archives