BUDI PEKERTI, WARNA KHAS TAMANSISWA
Abstract
Realitas sosial mengenai semakin banyaknya anak dan remaja yang melakukan perbuatan antisosial di tengah masyarakat, seperti tawuran pelajar dan perkelahian massal, pada akhir-akhir ini telah mendorong semangat sekelompok masyarakat kita untuk mengkritisi masalah pendidikan budi pekerti di sekolah. Kondisi ini makin ber-kembang nyata dengan dikeluarkannya Tap MPR Nomor X/MPR/1998 beberapa waktu yang lalu.
Di dalam ketetapan MPR tersebut secara eksplisit disebutkan bahwa salah satu butir agenda kebijakan dan reformasi pembangun-an di bidang agama dan sosial budaya adalah peningkatan akhlak mulia dan budi pekerti luhur dilaksanakan melalui pendidikan budi pekerti di sekolah.
Dalam perjalanannya ternyata ketetapan MPR tersebut di atas menimbulkan berbagai interpretasi di masyarakat, baik interpretasi yang benar maupun interpretasi yang salah sama sekali dengan ha-kekat dan makna yang terkandung di dalamnya.
Pertama, dengan adanya kalimat "peningkatan akhlak mulia dan budi pekerti luhur dilaksanakan melalui pendidikan budi pekerti di sekolah" menimbulkan interpretasi pada sekelompok masyarakat kita bahwa seolah-olah budi pekerti akan menjadi mata pelajaran tersendiri melengkapi mata pelajaran yang sudah ada. Implementasinya, di sekolah-sekolah kita kelak akan ada guru yang mengajar mata pelajaran budi pekerti sebagaimana dengan guru yang mengajarkan mata-mata pelajaran yang lain. Interpretasi ini berkembang pesat dengan riuhnya isu akan digantikannya kurikulum sekolah dalam waktu dekat ini.
Kedua, yang agak ektreem, kalimat tersebut juga memunculkan interpretasi bahwa pendidikan agama di sekolah akan dihapus total dan posisinya akan digantikan dengan pendidikan budi pekerti sebagai mata pelajaran tersendiri. Interpretasi ini bertiup gencar di kalangan masyarakat tertentu sehingga dalam berbagai kesempatan telah menimbulkan reaksi keras di kalangan ulama dan para pemimpin agama lainnya.