NASIB SARJANA INDONESIA
Abstract
Dalam salah satu seminar nasional di Jakarta beberapa hari yang lalu terungkap data bahwa sekarang ini kita memiliki sarjana teknik alias insinyur sekitar 700 ribu orang. Mereka adalah lulusan perguruan tinggi negeri, PTN, dan perguruan tinggi swasta, PTS, di negara kita. Sayang sekali dari jumlah yang banyak ini hampir semuanya tidak mempunyai sertifikat keinsinyuran yang diakui oleh dunia internasional. Akibatnya, hampir tidak ada di antara mereka yang "layak jual" di pasar internasional.
Implikasinya, dalam era AFTA yang tinggal beberapa bulan mendatang diperkirakan nasib insinyur kita akan mengenaskan. Di satu sisi insinyur Indonesia tidak laku dijual di negara-negara lain, dan sisi lain akan membanjir datangnya insinyur asing untuk meng-ambil pekerjaan yang ada di negeri ini.
Sayangnya, menghadapi keadaan yang seperti itu pemerintah kita, yang dalam hal ini departemen pendidikan, belum mengadakan antisipasi secara profesional. Bahkan terkesan tidak dapat berbuat banyak untuk "menyelamatkan" para insinyur kita.
Lebih sayang lagi, Persatuan Insinyur Indonesia (PII) seba-gai organisasi profesi keinsinyuran di negara kita sepertinya juga belum melakukan langkah-langkah yang konkrit. Konon, PII pernah merintis kerja sama dengan "PII" Australia untuk melakukan sertifikasi internasional terhadap para insinyur kita agar nantinya dapat berkompetisi dengan insinyur manca, tetapi program tersebut belum dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Akhirnya, ke depan nasib insinyur kita masih tidak jelas.
Implikasinya, dalam era AFTA yang tinggal beberapa bulan mendatang diperkirakan nasib insinyur kita akan mengenaskan. Di satu sisi insinyur Indonesia tidak laku dijual di negara-negara lain, dan sisi lain akan membanjir datangnya insinyur asing untuk meng-ambil pekerjaan yang ada di negeri ini.
Sayangnya, menghadapi keadaan yang seperti itu pemerintah kita, yang dalam hal ini departemen pendidikan, belum mengadakan antisipasi secara profesional. Bahkan terkesan tidak dapat berbuat banyak untuk "menyelamatkan" para insinyur kita.
Lebih sayang lagi, Persatuan Insinyur Indonesia (PII) seba-gai organisasi profesi keinsinyuran di negara kita sepertinya juga belum melakukan langkah-langkah yang konkrit. Konon, PII pernah merintis kerja sama dengan "PII" Australia untuk melakukan sertifikasi internasional terhadap para insinyur kita agar nantinya dapat berkompetisi dengan insinyur manca, tetapi program tersebut belum dapat berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Akhirnya, ke depan nasib insinyur kita masih tidak jelas.