SANG GURU MELAWAN KETIDAKADILAN
Abstract
Kedengarannya sedikit janggal, sekelompok guru yang kalau dihitung jumlahnya puluhan, ratusan, bahkan ribuan orang secara beramai-ramai mendatangi kantor Departemen Pendidikan Nasional (Depdiknas) dan Gedung Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI untuk melawan ketidakadilan. Mereka berdemonstrasi untuk menuntut hak yang berkait dengan kesejahteraan bagi diri dan keluarganya agar supaya dapat hidup wajar di tengah-tengah masyarakat.
Mengapa peristiwa seperti itu terdengar janggal? Ya, karena di negeri ini profesi guru itu identik dengan panutan dan keteladanan. Seorang guru merupakan figur panutan dan sosok teladan; di samping juga merupakan tokoh sosial masyarakat. Jadi memang agak janggal kalau ada seorang figur panutan yang melakukan de-monstrasi, seorang sosok teladan yang melakukan unjuk rasa, dan seorang tokoh sosial yang melakukan protes. Apalagi kalau kegiatan demonstrasi, unjuk rasa, atau protes tersebut disertai dengan per-formansi emosional tidak terkendali seperti berteriak-teriak, main lempar dan main rusak fasilitas umum.
Tetapi apa boleh buat, memang demikian realitasnya. Para guru di Indonesia sepertinya telah seiya sekata dan sehati setujuan untuk melakukan aksi. Mereka berdemonstrasi, mereka berunjuk rasa, dan mereka pun mengajukan protes massal. Mereka menemui dirjen dan menteri, mereka menemui pimpinan DPR RI, dan mereka pun menemui presiden untuk menyampaikan aspirasi. Agar keadilan dapat ditegakkan di negeri ini, katanya, maka para guru harus di-beri peningkatan kesejahteraan atau kenaikan gaji.
Itulah tuntutan guru; peningkatan kesejahteraan atau kenaik-an gaji. Apakah demonstrasi merupakan metoda yang tepat untuk memperjuangkan tuntutan? Mungkin saja, karena sebelumnya berbagai cara telah dicoba dan tidak pernah mendatangkan hasil yang optimal. Demonstrasi itu sendiri tidak merusak citra guru sepanjang dapat dilaksanakan dengan tertib.
Mengapa peristiwa seperti itu terdengar janggal? Ya, karena di negeri ini profesi guru itu identik dengan panutan dan keteladanan. Seorang guru merupakan figur panutan dan sosok teladan; di samping juga merupakan tokoh sosial masyarakat. Jadi memang agak janggal kalau ada seorang figur panutan yang melakukan de-monstrasi, seorang sosok teladan yang melakukan unjuk rasa, dan seorang tokoh sosial yang melakukan protes. Apalagi kalau kegiatan demonstrasi, unjuk rasa, atau protes tersebut disertai dengan per-formansi emosional tidak terkendali seperti berteriak-teriak, main lempar dan main rusak fasilitas umum.
Tetapi apa boleh buat, memang demikian realitasnya. Para guru di Indonesia sepertinya telah seiya sekata dan sehati setujuan untuk melakukan aksi. Mereka berdemonstrasi, mereka berunjuk rasa, dan mereka pun mengajukan protes massal. Mereka menemui dirjen dan menteri, mereka menemui pimpinan DPR RI, dan mereka pun menemui presiden untuk menyampaikan aspirasi. Agar keadilan dapat ditegakkan di negeri ini, katanya, maka para guru harus di-beri peningkatan kesejahteraan atau kenaikan gaji.
Itulah tuntutan guru; peningkatan kesejahteraan atau kenaik-an gaji. Apakah demonstrasi merupakan metoda yang tepat untuk memperjuangkan tuntutan? Mungkin saja, karena sebelumnya berbagai cara telah dicoba dan tidak pernah mendatangkan hasil yang optimal. Demonstrasi itu sendiri tidak merusak citra guru sepanjang dapat dilaksanakan dengan tertib.