MENJUAL GELAR, SIAPA TAKUT ?
Abstract
Hasil jajak pendapat Pikiran Rakyat tentang praktik jual beli gelar (akademik) yang menyatakan ketidaksetujuan masyarakat kita tidak mengejutkan, bahkan sudah dapat diduga sebelumnya. Begitu pula dengan langkah-langkah penertiban lembaga yang telah mem-perjualbelikan gelar baik dalam bentuk pencabutan ijin, penutupan, pelarangan, atau apa pun bentuknya.
Seperti dikomunikasikan oleh Pikiran Rakyat edisi 13 Maret 2000 yang lalu; menurut hasil jajak pendapat yang dilakukan hanya 2,8 persen anggota masyarakat yang menyatakan setuju atas kebe-radaan lembaga yang melakukan praktik jual beli gelar, 6,6 persen tidak mengambil sikap, dan selebihnya 90,6 persen tidak sependapat dengan keberadaan lembaga tersebut. Di sisi lainnya sebanyak 29,8 persen menyatakan setuju untuk menertibkan lembaga yang melakukan praktik jual beli gelar, 22,6 persen berpendapat perlu-nya penutupan lembaga, 7,2 persen setuju penggabungan lembaga dengan perguruan tinggi, dan 40,4 persen yang lain menyatakan perlunya pelarangan secara tegas terhadap praktik jual beli gelar.
Masyarakat sekarang ini memang sudah jenuh dengan praktik "kriminologis" yang amat memalukan tersebut; apa lagi serenta mengetahui di balik kegiatan tersebut ada tokoh-tokoh yang menu-rut ukuran intelektual cukup terpandang.
Anehnya pemerintah kita, dalam hal ini utamanya Depdiknas, sepertinya kurang peka terhadap fenomena disktruktif tersebut. Pemerintah kurang memiliki kesungguhan untuk mengakhiri praktik jual beli gelar. Depdiknas sepertinya tidak sanggup menumbuhkan tradisi profesional dan cekatan untuk menyelesaikan masalah. Meski makin lama semakin banyak anggota masyarakat yang terlibat dalam kegiatan tersebut ternyata Depdiknas masih terkesan "slow down".
Seperti dikomunikasikan oleh Pikiran Rakyat edisi 13 Maret 2000 yang lalu; menurut hasil jajak pendapat yang dilakukan hanya 2,8 persen anggota masyarakat yang menyatakan setuju atas kebe-radaan lembaga yang melakukan praktik jual beli gelar, 6,6 persen tidak mengambil sikap, dan selebihnya 90,6 persen tidak sependapat dengan keberadaan lembaga tersebut. Di sisi lainnya sebanyak 29,8 persen menyatakan setuju untuk menertibkan lembaga yang melakukan praktik jual beli gelar, 22,6 persen berpendapat perlu-nya penutupan lembaga, 7,2 persen setuju penggabungan lembaga dengan perguruan tinggi, dan 40,4 persen yang lain menyatakan perlunya pelarangan secara tegas terhadap praktik jual beli gelar.
Masyarakat sekarang ini memang sudah jenuh dengan praktik "kriminologis" yang amat memalukan tersebut; apa lagi serenta mengetahui di balik kegiatan tersebut ada tokoh-tokoh yang menu-rut ukuran intelektual cukup terpandang.
Anehnya pemerintah kita, dalam hal ini utamanya Depdiknas, sepertinya kurang peka terhadap fenomena disktruktif tersebut. Pemerintah kurang memiliki kesungguhan untuk mengakhiri praktik jual beli gelar. Depdiknas sepertinya tidak sanggup menumbuhkan tradisi profesional dan cekatan untuk menyelesaikan masalah. Meski makin lama semakin banyak anggota masyarakat yang terlibat dalam kegiatan tersebut ternyata Depdiknas masih terkesan "slow down".