KAPAN INDONESIA MERAIH NOBEL?
Abstract
Hanya satu hari setelah Panitya Nobel 2006 mengumumkan pemenang penghargaan Nobel Perdamaian, yaitu tanggal 13 Oktober yang lalu, segera saya memutuskan untuk tinggal sementara di Singapura. Untuk memudah-kan komunikasi ke beberapa kolega di berbagai negara, termasuk KR di Indonesia, saya memilih tinggal di Lantai 30 suatu apartemen yang terletak di Orchard Road Singapura; kira-kira seperti Nathan Road di Hong Kong atau Jalan Malioboro di Yogyakarta.
Beberapa kawan di Singapura ketika bertemu menyayangkan gagalnya Presiden RI Soesila Bambang Yudhayana (SBY) untuk meraih penghargaan nobel tahun ini. Bahkan mereka ada yang memperkirakan kasus asap yang “disetor” Indonesia ke Malaysia dan Singapura ikut berperan menggagalkan penghargaan bergengsi tersebut.
Kebetulan hari itu koran The Straits Times memasang gambar SBY dengan judul “Yudhoyono’s Second Years” dan memberitakan adanya tiga masalah besar yang tengah dihadapi pemerintahan SBY, yaitu gempa dan tsunami di Jawa, flu burung, serta asap. Masalah asap sangat menarik bagi masyarakat Singapura oleh karena mereka tidak merasa “menyalakan api” koq menuai asap. Saya pun merasakan, dari lantai 30 apartemen ternyata jarak pandangnya menjadi “pendek” karena asap.
Sejauh mana kebenaran hubungan asap dengan nobel bisa didiskusikan, tetapi penyayangan atas gagalnya SBY menerima nobel merupakan indikasi positif. Artinya mereka senang sekiranya SBY benar-benar memenangi Nobel Perdamaian. Hal ini penting karena di Indonesia sendiri banyak pihak yang kurang senang kalau SBY menerima nobel; apa arti nobel kalau masalah lumpur Lapindo tidak teratasi, tidak ada manfaatnya nobel kalau kinerja pemerintahannya amburadul, silakan saja menerima nobel kalau masalah pendidikan sudah tertangani baik, dan sebagainya.