INDAHNYA MEMAAFKAN (1)
Abstract
Ebrahim Khan dalam bukunya Anecdote from Islam, mengisahkan tentang orang yang memaafkan kesalahan orang lain. Pada saat Nukman sebagai penguasa Bahrain, tengah duduk-duduk di majelis, tiba-tiba dua orang lelaki datang menghadap dengan membawa seorang laki-laki lain dengan tangan terikat. Kedua lelaki itu mengadu, “Tuan, pemuda Badui jahat ini telah membunuh ayah kami. Jadi ikami ke sini untuk menuntut keadilan.”
“Baiklah,” kata Nukman lalu buru-buru menambahkan “lepaskan ikatannya!” Kedua lelaki itupun melepaskan ikatan yang membelit tubuh si Badui. ”Sekarang, anak muda apakah tuduhan atas dirimu benar?” tanya Nukman kepada si Badui.
”Benar, Tuan. Tetapi aku ingin menyampaikan sesuatu,” jawab si Badui membela diri. ”Baiklah. Katakan saja apa keinginanmu,” jawab Nukman.
”Tuan adalah pelindung sesama. Dan aku adalah penduduk warga padang pasir Abia. Musim paceklik hebat telah menimpa kampung kami. Karenanya aku dan keluargaku datang ke wilayah ini. Saat kami teangah menempuh perjalanan, salah seekor unta kami masuk ke sebuah kebun dan merusak tanamannya. Lalu akupun menariknya agar kembali ke rombongan. Saat itu tiba-tiba seorang lelaki tua muncul dan menghantam unta itu dengan sebongkah batu besar dan menyebabkan mati seketika. Padahal unta itu kesayanganku, jadi akupun tak mampu menahan emosi. Oleh karena itu akupun menghantamnya dengan batu yang sama dan dia tewas terkapar di tanah. Lalu kedua lelaki muda ini muncul menyerangku dan menangkapku. Dan karena peristiwa itu, kini aku berada di hadapan .”
”Dasar pemuda gegabah! Pengakuanmu cukup menjadi bukti kejahatanmu. Dan hukuman yang setimpal dengan kejahatan yang kau lakukan adalah mati,” bentak Nukman.
”Aku tunduk kepada putusan Tuan. Tetapi sebelumnya, izinkan diriku menyampaikan sedikit permintaan kepada tuan. Aku memiliki beberapa saudara yang masih kecil dan akulah yang selama ini mengasuh mereka. Sebelum meninggal, ayahku berpesan agar aku mengasuh mereka dan meninggalkan simpanan uang untuk mereka. Aku menyimpan uang itu dengan menyembunyikannya di bawah tanah, dan tidak ada seorangpun yang mengetahuinya kecuali diriku. Jika tuan hendak menghukum mati diriku saat ini juga, mereka tidak akan memperoleh uang tersebut. Itu berarti baik aku maupun tuan harus bertanggungjawab di hadapan Allah kelak. Jadi, aku mohon kepada tuan untuk memberi hamba tenggang waktu yang cukup agar hamba bisa pulang ke rumah, menunjuk seorang untuk menjadi wali mereka, dan menyerahkan uang pusaka kepadanya. Setelah itu aku akan kembali ke tempat ini lagi.”
”Tetapi bagaimana aku bisa memberi izin tersebut, anak muda? Siapa di sini yang bersedia menjadi jaminan bagi dirimu?”
Si Badui melihat ke sekeliling, ”Saudara-sudaraku! Tidak ada seorangpun di antara kalin di sini yang mengenal diriku. Tetapi jika salah seorang di antara kalian bersedia menjadi jaminan bagiku, aku bersumpah, bahwa aku akan kembali tepat waktu.”
Saudara Nukman menyela, ”Tuan! Hamba menawarkan diri menjadi jaminan anak muda ini.”
Nukman segera menoleh kepada saudaranya seraya berkata, ”Pemuda tolol! Apa sudah kamu pikir resiko bakal kamu tanggung dengan memberi jaminan padanya. Bagaimanan bila bedebah tak dikenal ini tidak kembali?”
”Hamba sudah memikirkannya masak-masak segala konsekuensi yang akan terjadi. Tetapi hamba merasa yakin bahwa si pemuda ini aan kembali. Dan jika ia tidak kembali, tuanku tidak perlu merasa malu sama sekali bia ia harus mengorbankan saudaranya demi seorang pemuda gurun yang tidak dikenal.”
“Baiklah kalau begitu. Anak muda! Sekarang kamu boleh pergi,” kata Nukman kepada si Badui. Dengan air mata suka cita membasahi kedua matanya, si Badui mengucapkan terima kasih kepada saudara Nukman lalu kemudian pergi menuju ke kampung halamannya.