PENDAPATAN PRIMER KEUANGAN NEGARA PADA PERIODE AWAL ISLAM (3)

Mohammad Suyanto

Abstract


 Pada masa hidup Nabi yang mulia, jumlah kuda di Arab sangat sedikit terutama kuda yang dimiliki orang-orang Islam karena digunakan untuk kebutuhan pribadi dan jihad. Misalkan pada perang Badar, pasukan muslim yang jumlahnya 313 orang hanya memiliki dua kuda. Pada saat pengepung Bani Quraisy (5A.H) pasukan muslim memiliki 36 kuda. Pada tahun yang sama, di Hudaybiya mereka mempunyai sekitar dua ratus kuda. Karena zakat dibebankan atas barang-barang yang produktivitas, maka seorang budak atau sekedar kuda yang dimiliki muslim telah dibebaskan dari zakat (Baladhuri, 1966:156).

Pada periode selanjutnya, kegiatan beternak dan memperdagangkan kuda dilakukan secara besar-besaran di Syria dan bagian lain dari daerah kekuasaan. Bebarapa kuda mempunyai nilai jual yang tinggi (pernah disebutkan bahwa seekor kuda Arab Taghlabi, nilainya diperkirakan sebesar 20.000 Dirham) (Baladhuri 1966:157)   dan orang-orang Islam terlibat dalam perdagangan ini. Karena maraknya perdagangan kuda, mereka menanyakan kepada Abu Ubayda Gubernur Syria, tentang kewajiban membayar zakat kuda dan budak. Gubernur memberitahu bahwa tidak ada zakat atas keduanya. Kemudian mereka mengusulkan kepada Khalifah agar ditetapkan kewajiban zakatnya, tetapi permintaan orang tidak dikabulkan. Mereka kemudian datang kembali kepada Abu Ubayda dan bersikeras ingin membayar. Akhirnya Gubernur menulis surat kepada Umar (mungkin dilengkapi dengan data yang detail) dan Umar menginstruksikan Gubernur untuk menarik zakat dari mereka dan mendistribusikannya kepada fakir miskin serta budak-budak.”    Sejak itu zakat atas kuda ditetapkan sebesar satu dinar atau atas dasar ad valorem i.e. satu dirham untuk setiap empat puluh dirham (Baladhuri, 1966:158).

Di antara beberapa barang, Abu Bakar membebani zakat atas war (rumput herbal yang digunakan untuk membuat bedak dan parfum), sementara Umar mengenakan khums-zakat atas karet yang ditemukan di semenanjung Yaman, antara Aden dan Mukha dan produk lain dari laut (Seyubu-behar). Karena barang-barang tersebut diperlakukan sebagai “hadiah dari Allah.” Taiff terkenal dengan peternakan tawonnya dan menurut beberapa laporan, Bilal datang kepada Nabi dengan ushr atas madunya dan meminta agar lembah Salba dicadangkan untuknya. Permintaannya diterima. Pada masa Umar, Gubernur Taif melaporkan bahwa pemilik sarang – sarang tawon tidak membayar ushr tetapi menginginkan sarang-sarang tawon tersebut dilindungi secara resmi. Umar katakan bahwa bila mereka mau membayar ushr, maka sarang tawon mereka akan dilindungi. Apabila tidak, tidak akan medapat perlindungan. Menurut laopran Abu Ubayd, Umar membedakan madu yang diperoleh dari daerah pegunungan dan yang diperoleh dari lading. Zakat yang ditetapkan adalah seperduapuluh untuk madu yang pertama dan sepersepuluh untuk madu jenis kedua (Baladhuri, 1966:173-176). Sebelum Islam, setiap suku atau kelompok suku yang tinggal di pedesaan biasa membayar pajak (ushr) pembelian dan penjualan (Maqs). Besarnya 10 persen dari nilai barang atau satu dirham setiap transaksi. Tetapi setelah Negara Islam berdiri di Arabia. “Nabi mengambil inisiatif untuk mendorong usaha perdagangan dengan menghapuskan bea masuk antar provinsi yang masuk dalam daerah kekuasaan dan masuk dalam perjanjian yang ditandatangani oleh beliau bersama suku-suku yang tunduk kepada kekuasaannya. Secara jelas dikatakan bahwa pembebanan sepersepuluh hasil pertanian kepada pedagang Manbij (Hierapolis) dikatakan sebagai yang pertama dalam masa Umar (Sabzwari, 1984).


Amikom Web Archives