STRATEGI KONSISTENSI
Abstract
Konsistensi berarti ketaatan, ketaatasasan, tidak berubah-ubah, kesesuaian antara apa yang dikatakan dengan perbuatan. Strategi ini berkait dengan membangun merek sehingga merek tersebut masuk di benak konsumen. Banyak di antara kita mudah sekali untuk berganti merek, karena berbagai alasan. Ada yang beralasan karena pasarnya berubah, sehingga produknya berubah dan akhirnya merek berubah.
Saya mengamati beberapa perguruan tinggi yang berubah dari Akademi menjadi Sekolah Tinggi atau Sekolah Tinggi menjadi Universitas. Merek lamanya seringkali tidak dipakai lagi, jika itu terjadi sangat mudah ditebak. Hampir pasti mahasiswanya menurun, hal itu terjadi karena benak konsumen belum bisa melupakan merek yang lama dan memakai merek yang baru. Meskipun demikian saya juga melihat ada beberapa yang tetap memakai merek lamanya, sehingga calon mahasiswa baru tetap memilihnya.
Pasar mungkin berubah, tetapi merek tidak harus berubah, bahkan jangan pernah berpikir untuk berubah. Kalau memang harus berubah, barangkali sedikit, tetapi karakter dasarnya tidak boleh diubah. Perguruan Tinggi seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung merupakan merek yang sudah bertahun-tahun dan tidak pernah berubah.
Demikian pula pada bidang otomotif, misalnya BMW menjual kendaraan dengan the ultimate driving machine sudah lebih dari 30 tahun, demikian pula Volvo menjual kendaraan dengan safety juga telah lebih dari 30 tahun. Hal yang paling menggoda untuk mengubah merek adalah kebosanan. Kebosanan inilah hambatan terbesarnya, sehingga cenderung untuk membuat merek yang baru. BMW juga terpancing dengan kebosanan ini. Akhirnya membuat station wagon yang diperuntukkan profesional muda yang beranjak dewasa, menikah dan mempunyai anak. Hasilnya dapat ditebak, yaitu tidak sukses, bahkan melemahkan merek BMW itu sendiri di benak konsumen.
Kisah lain tentang Little Caesars dengan ‘Pizza Pizza’, yaitu membeli dua pizza dengan harga satu pizza. Kekuatan merek Little Caesars dengan ‘Pizza, Pizza’ mampu menjadi jaringan pizza terbesar Amerika. Kembali lagi kebosanan menghantui Little Caesars dengan ‘’Pizza Pizza’ yang akhirnya Little Caesars memperkenalkan ‘Delivery Delivery’ dan yang terjadi sudah dapat kita duga, yaitu Little Caesars dalam penjualan turun ke tempat ketiga, setelah Pizza Hut dan Dominoís Pizza. Mereknya menjadi lebih buruk lagi setelah Little Caesars mengubah ukurannya dari medium ke ukuran besar, demikianlah dikisahkan oleh Al Ries dan Laura Ries dalam bukunya 22 Immutable Laws of Branding.
Dengan demikian membangun merek tidak bisa hanya satu malam atau membalik tangan saja, tetapi harus dipelihara bertahun-tahun dan bahkan berpuluh-puluh tahun dengan ketaatan tanpa merasa bosan dan tergoda untuk merusak merek tersebut. Di samping itu kita harus membatasi merek agar mewakili sesuatu yang sederhana dan sempit di benak konsumen sehingga mudah untuk diingat oleh konsumen. Meskipun BMW ditangani oleh tiga biro iklan berbeda tetapi tetap mempertahankan strateginya dengan the ultimate driving machine lebih dari 30 tahun. Strategi tersebut dinamakan strategi konsistensi.
Saya mengamati beberapa perguruan tinggi yang berubah dari Akademi menjadi Sekolah Tinggi atau Sekolah Tinggi menjadi Universitas. Merek lamanya seringkali tidak dipakai lagi, jika itu terjadi sangat mudah ditebak. Hampir pasti mahasiswanya menurun, hal itu terjadi karena benak konsumen belum bisa melupakan merek yang lama dan memakai merek yang baru. Meskipun demikian saya juga melihat ada beberapa yang tetap memakai merek lamanya, sehingga calon mahasiswa baru tetap memilihnya.
Pasar mungkin berubah, tetapi merek tidak harus berubah, bahkan jangan pernah berpikir untuk berubah. Kalau memang harus berubah, barangkali sedikit, tetapi karakter dasarnya tidak boleh diubah. Perguruan Tinggi seperti Universitas Gadjah Mada, Universitas Indonesia, Institut Teknologi Bandung merupakan merek yang sudah bertahun-tahun dan tidak pernah berubah.
Demikian pula pada bidang otomotif, misalnya BMW menjual kendaraan dengan the ultimate driving machine sudah lebih dari 30 tahun, demikian pula Volvo menjual kendaraan dengan safety juga telah lebih dari 30 tahun. Hal yang paling menggoda untuk mengubah merek adalah kebosanan. Kebosanan inilah hambatan terbesarnya, sehingga cenderung untuk membuat merek yang baru. BMW juga terpancing dengan kebosanan ini. Akhirnya membuat station wagon yang diperuntukkan profesional muda yang beranjak dewasa, menikah dan mempunyai anak. Hasilnya dapat ditebak, yaitu tidak sukses, bahkan melemahkan merek BMW itu sendiri di benak konsumen.
Kisah lain tentang Little Caesars dengan ‘Pizza Pizza’, yaitu membeli dua pizza dengan harga satu pizza. Kekuatan merek Little Caesars dengan ‘Pizza, Pizza’ mampu menjadi jaringan pizza terbesar Amerika. Kembali lagi kebosanan menghantui Little Caesars dengan ‘’Pizza Pizza’ yang akhirnya Little Caesars memperkenalkan ‘Delivery Delivery’ dan yang terjadi sudah dapat kita duga, yaitu Little Caesars dalam penjualan turun ke tempat ketiga, setelah Pizza Hut dan Dominoís Pizza. Mereknya menjadi lebih buruk lagi setelah Little Caesars mengubah ukurannya dari medium ke ukuran besar, demikianlah dikisahkan oleh Al Ries dan Laura Ries dalam bukunya 22 Immutable Laws of Branding.
Dengan demikian membangun merek tidak bisa hanya satu malam atau membalik tangan saja, tetapi harus dipelihara bertahun-tahun dan bahkan berpuluh-puluh tahun dengan ketaatan tanpa merasa bosan dan tergoda untuk merusak merek tersebut. Di samping itu kita harus membatasi merek agar mewakili sesuatu yang sederhana dan sempit di benak konsumen sehingga mudah untuk diingat oleh konsumen. Meskipun BMW ditangani oleh tiga biro iklan berbeda tetapi tetap mempertahankan strateginya dengan the ultimate driving machine lebih dari 30 tahun. Strategi tersebut dinamakan strategi konsistensi.