KEBIJAKAN FISKAL PADA MASA RASULULLAH S.A.W. (1)
Abstract
Rasulullah adalah kepala negara pertama yang memperkenalkan konsep baru di bidang keuangan negara di abad ketujuh yaitu semua hasil pengumpulan negara harus dikumpulkan terlebih dahulu dan kemudian dikeluarkan sesuai dengan kebutuhan negara. Hasil pengumpulan itu adalah milik negara dan bukan milik individu. Meskipun demikian, para pemimpin negara dan gubernur dapat menggunakannya untuk mencukupi kebutuhan pribadinya. Tempat pengumpulan itu disebut baitul maal (rumah harta) atau bendahara negara. Ada dua kebijakan yang dilakukan Rasulullah s.a.w untuk pengembangan ekonomi dan peningkatan partisipasi kerja dan produksi. Kebijakan pertama adalah mendorong masyarakat memulai aktivitas ekonomi baik dalam kelompok sendiri maupun kerjasama dengan kelompok lainnya tanpa dibiayai baitul maal. Kebijakan kedua adalah kebijakan dan aksi yang dilakukan Rasulullah s.a.w. dengan mengeluarkan dana baitul maal.
Kebijakan pertama yang diambil Rasulullah adalam rangka meningkatkan permintaan agregat masyarakat muslim di Madinah setelah hijrah adalah dengan mempersaudarakan Muhajirin dengan Anshar. Kesepakatan ini, yang menempatkan setiap Anshar bertanggung jawab atas saudara Muhajirinnya, menyebabkan terjadinya distribusi pendapatan dari Anshar kepada Muhajirin. Karena orang-orang Muhajirin mempunyai kecenderungan konsumsi yang lebih besar dibandingkan orang-orang Anshar, distribusi pendapatan cara ini telah meningkatkan permintaan total di Madinah. Kebijakan lain yang diterapkan Rasulullah di Madinah pada era permulaan Islam setelah hijrah adalah menyediakan lapangan kerja bagi orang-orang Muhajirin sekaligus meningkatkan pendapatan nasional muslim dengan menerapkan kontrak-kontrak muzaraa, musaqat, dan mudharabah serta kerja sama terbatas antara Muhajirin yang menyediakan tenaga kerja dengan Anshar yang memiliki tanah pertanian, perkebunan dan tabungan. Imam Bukhari meriwayatkan sebagai berikut :
Setibanya kaum Muhajirin di Madinah, Rasulullah s.a.w. mempersaudarakan Abdur Rahman bin Auf dan Sa’d bin ar-Rabi’. Kemudian Sa’d bin ar-Rabi’ berkata kepada Abdur Rahman bin Auf, “Aku termasuk orang Anshar yang mempunyai banyak harta. Harta itu akan kubagi dua, setengah untuk Anda dan setengah untuk aku. Aku mempunyai dua orang istri, lihatlah mana yang Anda pandang paling menarik. Sebutkan namanya, dia akan segera aku cerai. Setelah habis masa iddahnya Anda kupersilakan menikahinya.” Abdur Rahman bin Auf menjawab, “Semoga Allah memberkahi keluarga dan kekayaan Anda. Tunjukkan saja kepadaku, di manakah pasar kota kalian?”. Abdur Rahman bin Auf kemudian ditunjukkan tempat pasar Bani Qainuqa’. Ketika pulang ternyata ia membawa gandum dan samin. Begitulah seterusnya ia berusaha dan berdagang di pasar. Demikian pula diriwayatkan dari Abu Hurairah, ia berkata : Kaum Anshar berkata kepada Nabi s.a.w. ,”Bagikan kami pohon kurma di antara kami dan ikhwan kami.” Beliau berkata, “Tidak.” Kaum Muhajirin berkata, “Kalian memenuhi kebutuhan kami dan kami ikut bekerja bersama kalian dalam mengurus buah itu.” Kaum Anshar menjawab, “Kami dengar dan kami taat.”
Dari hadis tersebut ditunjukkan bahwa kaum Anshar mempunyai sifat rela berkorban, mengutamakan orang lain dan menyayangi kaum Muhajirin. Sedangkan kaum Muhajirin sangat menghargai keikhlasan budi kaum Anshar. Mereka tidak menggunakan hal itu sebagai kesempatan untuk kepentingan yang bukan pada tempatnya. Mereka hanya mau menerima bantuan dari kaum Anshar sesuai dengan jerih payah yang mereka curahkan di dalam suatu pekerjaan. Secara alami, perluasan produksi dan fasilitas perdagangan meningkatkan produksi total kaum muslimin dan menghasilkan peningkatan pemanfaatan sumberdaya tenaga kerja, lahan dan modal. Selanjutnya pada periode yang sama Rasulullah membagikan tanah kepada Muhajirin untuk pembangunan pemukiman. Kebijakan ini juga meningkatkan partisipasi kerja dan aktivitas pembangunan pemukiman di Madinah sekaligus memenuhi kebutuhan penting Muhajirin akan tempat tinggal. Dengan cara ini tingkat kesejahteraan umum kaum muslimin meningkat.